MungkinSekarang, Jakarta - Bagi sebagian orang, sikap optimistis punya banyak manfaat. Jika menyangkut pekerjaan, energi positif ini bisa membuat pekerjaan lebih cepat rampung. Untuk urusan kesehatan, perasaan yakin dan riang ini juga punya banyak khasiat.
Penelitian Harvard University, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di American Journal of Epidemiology pada 7 Desember 2016, menyimpulkan sikap optimistis bisa membuat panjang umur, khususnya bagi kaum Hawa. Penelitian itu mengkaji para perempuan yang terdaftar dalam Nurses' Health Study sejak 1976.
Setiap dua tahun, mereka mengisi kuesioner tentang kondisinya. Selain perihal kesehatan, mereka juga mengisi pertanyaan tentang tingkat optimisme masing-masing. Para peneliti kemudian menganalisis 70 ribu data perempuan yang terekam pada 2004-2012. Mereka juga mengkaji informasi kematian para anggota Nurses’ Health Study tersebut pada 2004-2012.
Hasilnya, para peneliti menemukan perempuan optimistis lebih sedikit meninggal akibat lima sebab, yakni kanker, penyakit jantung, stroke, dan infeksi, dibanding perempuan pesimistis. Jika dirata-rata, perempuan optimistis 30 persen lebih sedikit meninggal karena penyakit berbahaya itu. Para peneliti menilai sikap optimistis membuat kekebalan tubuh mereka lebih baik. Optimistis juga menurunkan risiko peradangan dan kolesterol tinggi.
Eric Kim, salah satu penulis penelitian itu, mengatakan ternyata faktor psikologis juga berperan penting dalam kesehatan. Adapun sebagian besar kebijakan kesehatan berfokus pada pencegahan dengan mengurangi faktor risiko penyebab penyakit. “Temuan kami menunjukkan kita juga harus berupaya meningkatkan optimisme,” ujarnya seperti dikutip situs Harvard T.H. Chan School of Public Health.
Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Agus Frijanto, optimistis berarti tidak dalam kondisi depresi, sehingga hormon yang mempengaruhi stres, misalnya kortisol, juga dalam kondisi minimal. “Sel-sel tubuh jadi sehat, daya tahan tubuh juga meningkat,” kata dia. Karena itu, kata Agus, penyakit tak mudah datang.
Kalaupun sudah sakit, kemungkinan peningkatannya juga akan berkurang. Misalnya pada penyakit kanker, kemungkinan penyebarannya akan lebih rendah ketimbang saat sel-sel tubuh menderita stres akibat si pemilik tubuh mengalami depresi. “Kalau penderitanya putus asa, sel-sel kankernya malah semakin bermetastasis,” ujarnya.
Saat stres, menurut dia, tubuh bisa jadi sakit. Salah satu gejala depresi yang ringan adalah psikosomatis, gangguan psikis yang menyebabkan gangguan fisik. Bentuknya bermacam-macam, tergatung bagian mana yang paling rentan menghadapi stres tersebut. Misalnya, jika sistem pernapasannya yang sensitif, penderitanya bisa tiba-tiba terserang asma. Kalau kulitnya yang lemah, bisa jadi timbul jerawat, dermatitis, atau gatal-gatal. Yang paling banyak adalah peningkatan asam lambung, sehingga menyebabkan dispepsia. Maka, kata dia, sikap optimistis diperlukan untuk menjaga kesehatan fisik.
Ketua Yayasan Jantung Indonesia Syahlina Zuhal merasakan manfaat berpikir positif ini. Adiknya, Aslisyah Latif, divonis menderita kanker payudara stadium dua pada 1994. Tapi, karena optimismenya tinggi, hingga kini sang adik masih bertahan. “Ia bisa sembuh sampai sekarang,” katanya.
Ia mengatakan Aslisyah awalnya sempat drop ketika divonis dokter menderita kanker nomor dua paling banyak diidap perempuan itu. Tiap tahun diperkirakan ada 458 ribu penduduk dunia yang meninggal karena kanker tersebut. Tapi ia kemudian bangkit dan berjuang menaklukkan kanker itu. Payudaranya dimasektomi dan rutin melakukan terapi. Dengan perawatan, dukungan keluarga, dan perubahan gaya hidup, Aslisyah sehat sampai saat ini. “Sekarang usianya sudah 65 tahun dan ke mana-mana masih menyetir mobil sendiri, apa-apa dikerjakan sendiri,” ujar Syahlina.
Jadilah Perempuan Periang, Maka Umurmu Panjang
4/
5
Oleh
fikkirian